Beranda | Artikel
Tingkatan-Tingkatan dalam Memberikan Pelajaran
Senin, 4 April 2022

BAB II
HAK-HAK ISTERI ATAS SUAMINYA

Pasal 10
Tingkatan-Tingkatan dalam Memberikan Pelajaran
Allah Ta’ala berfirman:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا 

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain(wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah tempat tidur mereka (tidak berjima’ dengannya), dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” [An-Nisaa’/4: 34]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,Firman-Nya:
وَاضْرِبُوْهُنَّ Pukullah mereka,” yaitu jika nasihat dan pemisahan tempat tidur tidak menggetarkannya, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan tidak membekas, sebagaimana hadits dalam Shahiih Muslim dari Jabir bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haji Wada’ bersabda:

وَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ.

Bertakwalah kepada Allah tentang wanita, sesungguhnya mereka adalah penolong kalian, kalian mempunyai hak terhadap mereka, yaitu mereka tidak boleh melakukan hubungan gelap dengan seseorang yang kalian benci di kamar kalian. Jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang yang tidak membekas dan mereka memiliki hak untuk mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang baik.”

Masalah :
Di manakah Pemisahan itu Dilakukan?
Allah Ta’ala berfirman:

وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ

Dan pisahkanlah tempat tidur mereka dan pukullah mereka…” [An-Nisaa’/4: 34]

Sebagian ulama mengatakan, “Yang dimaksud dengan al-hajr di sini adalah tidak berjima’. Dengan kata lain bahwa sang suami masih tetap bersamanya dalam satu tempat tidur tetapi tidak melakukan hubungan badan.”

Sebagian mereka mengatakan, “Sesungguhnya yang dimaksud-kan dengan hijraan (pisah) di sini adalah tidak mengajak bicara.”

Sedangkan sebagian yang lain mengatakan, “Yakni, memisahkan tempat tidur.”

Dan Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pisah di sini adalah tidak berjima’ dan tidak juga tinggal bersamanya. Hal itu berdasarkan pada lahiriah ayat. Yang demikian itu dikemukakan oleh al-Hafizh (Fat-hul Baari IX/301).

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbicara tentang pemisahan ini dapat kami sebutkan di antaranya, yaitu:

  1. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan -sebagaimana di dalam kitab Fat-hul Baari (IX/300)-, Khalid bin Makhlad memberitahu kami, dia berkata, Sulaiman memberitahu kami, dia berkata, Hamid memberitahuku dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengila’ (bersumpah tidak akan berjima’ dengan isteri) salah seorang isterinya selama satu bulan dan beliau tetap tinggal di biliknya. Lalu beliau mendatangi (nya) pada hari kedua puluh sembilan. Lalu dikatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengila’ selama satu bulan?” Beliau bersabda:

إِنَّ الشَّهْرَ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ.

Sesungguhnya satu bulan itu dua puluh sembilan hari.”

  1. Imam al-Bukhari rahimahullah juga meriwayatkan -sebagaimana di dalam kitab Fat-hul Baari (IX/300)-: Abu ‘Ashim memberitahu kami dari Ibnu Juraij, lalu Imam Bukhari berkata Muhammad bin Muqatil memberitahuku, ia berkata, ‘Abdullah memberitahu kami, ia berkata, Ibnu juraij memberitahu kami, dia berkata, Yahya bin ‘Abdullah bin Shaifi memberitahuku bahwa ‘Ikrimah bin ‘Abdurrahman bin al-Harits memberitahunya bahwa Umu Salamah pernah memberitahukan kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersumpah untuk tidak mendatangi sebagian isterinya selama satu bulan. Dan ketika dua puluh sembilan hari berlalu, beliau mendatanginya pada sore hari. Lalu dikatakan kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, engkau telah bersumpah bahwa engkau tidak akan mendatangi mereka selama satu bulan?” Beliau menjawab:

إِنَّ الشَّهْرَ يَكُونُ تِسْعَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا.

Sesungguhnya satu bulan itu sama dengan dua puluh sembilan hari.”

  1. Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan (hadits no. 2142), Musa bin Isma’il memberitahu kami, ia berkata, Hammad memberitahu kami, ia berkata, Abu Qaza’ah al-Bahili memberitahu kami, dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, dia berkata, “Aku pernah tanyakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah hak isteri atas salah seorang di antara kami (suami)?’ Beliau menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.

Hendaklah engkau memberinya makan, jika engkau makan, memberikan pakaian jika engkau mengenakannya, dan janganlah engkau memukul wajah, tidak menjelekkan serta tidak memisahkan, kecuali di dalam rumah.”

Abu Qaza’ah disertai dan diikuti oleh Bahz, sebagaimana terdapat pada riwayat Abu Dawud (no. 2143).

Di dalam hadits di atas terdapat penjelasan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan isterinya keluar rumah. Dan di dalam hadits ini pula terkandung penjelasan bahwa memisahkan isteri di luar rumah tidak boleh. Dan untuk menggabungkan antara keduanya adalah bahwa hal tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan. Jika dibutuhkan untuk pisah keluar rumah, maka hal itu boleh dilakukan. Dan jika tidak perlu, maka cukup di dalam rumah saja.

Dan al-Bukhari telah condong pada hadits Anas tersebut dan menyebutkan bahwa hadits itu lebih shahih daripada hadits Bahaz. Seakan-akan dia mengamalkan hadits Anas tersebut, yaitu pisah dengan keluar rumah. Wallaahu a’lam.[1]

Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) dari hadits ‘Abdullah bin Zam’ah radhiyallahu anhu bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah -yang di dalamnya disebutkan- lalu beliau bersabda,

يَعْمَدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدَ امْرَأَتَهُ جِلْدَ الْعَبْدِ، فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ.

“Ada salah seorang di antara kalian datang, lalu memukul isterinya seperti pukulan terhadap budak, siapa tahu dia akan mencampurinya pada akhir harinya.”

Pasal 11
Jika Seorang Suami Melakukan Pemukulan,Maka Hendaklah Menghindari Bagian Wajah
Dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, dia berkata, “Aku pernah tanyakan: ‘Wahai Rasulullah, apakah hak isteri atas salah seorang di antara kami (suami)?’ Beliau menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّحْ، وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.

Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberikan pakaian jika engkau mengenakannya dan janganlah engkau memukul wajah, tidak menjelekkan, serta tidak memisahkan, kecuali di dalam rumah.’” [HR. Abu Dawud dengan sanad yang hasan].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ.

Jika salah seorang di antara kalian memukul saudaranya, maka hendaklah dia menghindari bagian wajah.” [HR. Muslim].

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
______
Footnote
[1] Ahkaam an-Nikaah, hal. 277-279, karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawi.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54337-tingkatan-tingkatan-dalam-memberikan-pelajaran.html